Bisa dimaklumi, karena Mangkol hanya memiliki ketinggian 391 mdpl, jauh dibawah kriteria Encyclopædia Britannica* yang mendefinisikan Gunung apabila memiliki ketinggian setidaknya 2000ft (±610m).
Dan pada peta-peta Bangka terdahulu yang dibuat oleh Belanda, Mangkol selalu ditulis dengan istilah “Gunung”.
Kita tidak pernah tahu apakah selama 350 tahun Belanda berkuasa atas Indonesia, atau mungkin jauh sebelumnya Mangkol pernah aktif?
Sementara, kita lewatkan saja dulu. Suatu saat nanti biar pakarnya yang bicara.
Tapi setidaknya karena selama ratusan tahun hingga sekarang Mangkol selalu disebut/dituliskan dengan Gunung, maka kita ikut saja lah.
masih kah seperti yang dulu?
Tapi…bagi kawan-kawan yang belum pernah ke Mangkol atau yang ingin sekedar bernostolgia mengingat masa lalu, berikut Jelajah Bangka hadirkan spesial untuk mu
Selama “berkutat” dengan Mangkol, setidaknya ada dua sumber yang saya dapatkan tentang asal mula penamaan Gunung ini.
Yang pertama Mangkol diambil dari Bahasa Arab, Mangkul yang berarti Memindahkan.
Karena nama-nama Gunung di Pulau Bangka, umumnya diambil dari bahasa arab dari pedagang yang singgah di Pulau Bangka waktu itu.
“Apa yang dipindahkan, dari mana dan kemana dipindahkannya, kita masih belum tahu”.
Setidaknya begitu yang disampaikan oleh Kepala Dinas Budparpora Kota Pangkalpinang, Bapak Akhmad Elvian.
Menurut Haji Ilyasa, sebutan Gunung Mangkol diambil dari nama seorang Akek (Kakek) yang dulu berkebun dan berdiam diri dilereng sebuah Gunung yang menjadi pembatas antara Kampong Pedindang dengan Kampong Mesuk. Akek Mangkol, begitu namanya.
Akek Mangkol berteman akrab dengan Akek Dul yang kemudian melatar belakangi penyebutan Kampong Dul sekarang ini.
Meskipun ditengah perjalanan kedua jalur ini akan menyatu.
Dari jalur (kampong) Terak, apabila ingin ke Mangkol, orang-orang biasa menyebutnya dengan istilah jalan “Simpang Puskesmas”.
Kebanyakan orang lebih familiar dengan jalur ini, karena merupakan jalur lama.
Hanya saja, kalau dari arah Pangkalpinang, saya lebih menyarankan untuk menggunakan jalur Pedindang. Karena selain lebih dekat, jalannya relatif baru dan sedikit lebih baik dari jalur pertama tadi.
Kalau memilih jalur ini, berarti kita masuk melalui “Jalan Mangkol Dalam”.
Hingga saat ini, jembatan tersebut masih berdiri kokoh, meski telah diterjang banjir dan longsor beberapakali.
Pos ini cukup melegenda. Apabila ada yang mau hiking ke puncak Mangkol, biasanya start dari sini, karena mobil yang mengantar hanya sampai disini.
Tahun 80-an masih banyak adik-adik Pramuka yang mendaki Gunung ini.
Kita bisa mandi atau sekedar membasuh muka untuk menghilangkan penat agar tubuh segar kembali.
Bangunan ini semacam bak penampungan yang berfungsi untuk “mengkondisikan” air.
Mulai dari penyaringan, perjernihan, mengatur debit sehingga dapat disalurkan dengan baik.
“Bak Penampungan” ini dibuat dengan perhitungan yang teramat cermat. Didalamnya terdapat skat-skat kolam dan pipa-pipa yang sangat teratur .
Terbukti, tanpa menggunakan tekhnologi modern yang berbasis listrik, air dari sini bisa disalurkan hingga ke Pangkalpinang dan berujung di Bukit baru yang disebut Watertoren.
Bangunan pada sumber air baku dikaki Gunung Mangkol dibangun pada tahun 1927.
Ketika itu J.E. Edie yang bertugas sebagai Residen (1925-1928M) memerintahkan untuk melakukan penelitian guna mencari sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Pangkalpinang.
Dari pencarian tersebut didapat tiga sumber yang diajukan, yaitu: dari Gunung Doel, Sungai Nyelanding (daerah Kimak) dan Gunung Mangkol.
*(disarikan dari “Watertoren di Kampung Bukit” oleh: Akhmad Elvian).
Tak hanya Pramuka, remaja pada masa itu juga banyak yang memilih Mangkol menjadi salah satu tujuan piknik.
Tak sedikit dimasa-masa libur sekolah, siswa-siswa melakukan Study Tour ke Puncak Gunung Mangkol yang terdapat stasiun relay TVRI.
Modern hadir, Mangkol terlupa.
Jalanan hancur, Ilegal logging merajalela.
Hutan gundul, Mangkol Merana.
Hutan digarap, Pohon ditebang, Tanah dibongkar, Jalan disikat.
Aktivitas tambang, memporak-porandakan aliran sungai.
Ketika hujan, air tak terserap maksimal.
Dari puncak, air meluncur tanpa hambatan.
Sampai dibawah, kebingungan karena jalurnya berubah parah.
Sementara dari atas, air terus mendesak tak terhingga.
Meluap dan banjir pasti diujung cerita.
Hanya saja, mungkin karena sifatnya yang masih sendiri-sendiri dan belum terkoordinir dengan baik, maka hasilnya belum terlihat signifikan.
Bisa dibayangkan, kawasan Gunung Mangkol itu lebih dari 6 Ribu Hektar!
Teramat susah kalau hanya dikerjakan sendiri dan parsial.
0 Reviews:
Post Your Review
Silahkan Komentar dengan Bijak