Gunung yang menghadap Teluk Kelabat, berdiri gagah seolah tumpuan dan harapan bagi kapal yang melewati Selat Malaka menuju Batavia. Teluk Kelabat yang terletak diantara “tanduk” Pulau Bangka, akan melindungi mereka dari terjangan Angin Timur dan Barat, terlebih angin dari arah Selatan. Disini mereka bisa mengisi perbekalan air tawar, berlindung dari ancaman badai, sekaligus memperbaiki perahu dari kerusakan.
*Tim Jelajah Bangka kali ini akan mencoba memasuki Teluk Kelabat dari arah Sungai Bunting di Belinyu.
Mesin dinyalakan, perahu bergerak menyusuri sungai dengan perlahan.
Seperti umumnya sungai di Bangka, dikanan kiri sungai Bunting terlihat bakau beserta tanaman mangrove lainnya. Bakau adalah tempat favorite bagi udang galah untuk bertelur.
Kelokan sungai yang indah, ditambah merdu nya nyanyian alam membuat jiwa serasa melayang.
Kalau tadinya Sungai Bunting hanya selebar 4-6 meter, kini Teluk Kelabat membentang hampir sejauh mata memandang. Berdiri diatas perahu ditengah Teluk Kelabat, sambil melihat Gunung Maras yang menjulang tinggi, rasanya memiliki sensasi tersendiri. WOW!
Dengan mesin bertenaga 50 PK – 3 Silinder, tak susah bagi Mang Kapten untuk membawa kami ke dermaga Bukit Tulang. View utama dari Bukit Tulang adalah Pulau Dante (Danto dalam logat Belinyu). Pulau ini unik karena dilihat dari atas, bentuknya seperti telapak kaki.
Ada beberapa pulau yang berada dikawasan Teluk Kelabat, sebut saja Mengkubung, Pulau Nanas, Mentigi, Pulau Kayu dan lainnya, termasuk Pulau Putri yang terkenal itu.
Sayangnya pulau-pulau yang indah dan Teluk Kelabat yang mempesona ini harus dirusak oleh segelintir orang yang marak melakukan penambangan secara inkonvensional.
Ikan dan udang yang menjadi tangkapan utama nelayan, semakin susah didapatkan.
Beberapa nelayan yang kami temui, semuanya mengeluh akan aktivitas penambangan ini.
Dengan tatapan nanar, berkali-kali mereka menggulung jaring kosong yang sudah ditebar sedari pagi.
Dan tak tanggung-tanggung, diantara mereka besarnya ada yang melebihi perahu kita.
Agak merinding sebenarnya, tapi karena hanya cerita, jadinya… yah antara percaya dengan percaya dikit saja
Gemetar kaki ku. Tak cuma kaki, rupanya tanganku pun ikut bergetar.
Bayangkan! Berada diatas perahu kecil, ditengah sungai dan luasnya Teluk Kelabat.
Disenggol sedikit saja perahu kami bisa oleng!
Bukannya tancap gas untuk kabur, Mang Kapten malah mengitari Sang Buaya. Aneh!
Namun dari senyum dan gesture tubuhnya yang santai, membuat ku sedikit merasa tenang.
Bergegas ku ambil kamera. Masih agak gemetar kali ini sambil menahan kencing, ku paksakan mengabadikan momen spesial ini.
Sementara lututku masih gemetar dan rasa ingin kencing semakin menjadi-jadi.
Tak terlihat manuver apapun, tak ada gerakan sedikitpun.
Seolah mereka hanyut dibawa arus.
Pelan namun pasti. Gagah, dengan raut muka yang dingin.
Setelah berhasil mengitari Sang Buaya, perlahan ekornya mulai bergerak. Lentur laksana lambaian, seolah mengatakan selamat tinggal pada kami.
“Terimakasih”. Kembali kuucapkan pada mereka, dalam hati.
Perlahan Sang Penguasa menghilang, menyelam kedalam Sungai Perimping-Teluk Kelabat yang berair payau.
Didepan, jembatan Perimping mulai terlihat membentang.
Meski samar tertutup kabut, namun aura masa lalunya tetap gahar menggetarkan.
Membentang diatas sungai Perimping sepanjang lebih dari 200 meter. Menghubungkan antara Kampung Gedong, desa Lumut di Sebelah Belinyu dengan dusun Bernai, Buhir dan Rambang terus ke Pangkal Niur, Maras Senang hingga ke Bangka Barat (Kelapa, Jebus, sampai Muntok).
Dari Sungai Perimping dengan cabang-cabangnya yang lain, alirannya masuk ke Sungai Layang. Setelah Sungai Layang, masih terus lagi ke Sungai-Sungai lainnya hingga semakin jauh memasuki jantung Pulau Bangka.
Semacam aura ganjil, namun membuat betah menatapnya berlama-lama.
Kita seolah tersedot oleh kekuatan magis yang membuat lupa ruang dan waktu dimana kita berada.
Hal ini seperti legenda Buluh Perindu yang memang hidup di Gunung Maras sana.
Kabut tipis yang menyelimuti, perlahan menyingkir pergi.
Sedikit demi sedikit, Maras mulai menampakkan diri.
Seperti Putri habis mandi, kecantikannya tak tertandingi.
“Gunung Maras Sudah Bersisir”, begitu kata masyarakat disini.
Maknanya, Alam kembali bersahabat dan aman untuk beraktivitas lagi.
Letih yang dirasa, seketika langsung hilang.
Penuh rasa syukur, yang susah untuk dibilang.
“Maras lah besisir, Yo kite pulang!”
catatan:
*Berdasarkan Perda Kab.Bangka tentang RTRW No.1 Tahun 2013, Gunung Maras memiliki ketinggian 706 mdpl. Meski ketinggiannya tidak seperti Gunung pada umumnya, namun sejak dahulu daratan tertinggi di Pulau Bangka ini sudah kadung disebut Gunung.
Kini Jembatan baru sudah dibuat sepanjang 258,60 meter dengan nama asli Jembatan Air Layang dan diresmikan oleh Presiden SBY pada 28 Juni 2006
0 Reviews:
Post Your Review
Silahkan Komentar dengan Bijak