Terletak disebelah barat Pulau Bangka, berjarak ±64 Km dari Ibukota Prop.Kep.Bangka Belitung.
Aspal yang cukup bagus, menjadikan perjalanan relatif mulus.
Adapun beberapa lubang dijalanan, anggap saja sebagai terapi penghilang kantuk.
Jalan yang tidak begitu lebar, terasa agak lengang.
Hanya sesekali kita akan berpapasan dengan kendaraan lain.
Mungkin imbas perekonomian yang lesu menjadi pemberat ekonomi daerah ini.
Tidak mengherankan apabila berkunjung kesana, mata kita akan banyak melihat tembok berupa gedung tinggi tanpa penghuni.
Ya, itu adalah gedung tempat bersarangnya burung walet.
Sarang burung walet yang dibangun dari liur nya, dipercaya mempunyai banyak khasiat untuk kesehatan. Harganya dipasar luar mencapai 5 Juta/Kg menggiurkan pengusaha untuk menanamkan investasinya di “gedung walet” ini.
Tambang rakyat disinyalir cukup hidup didaerah ini. Disamping itu, tidak sedikit warga yang menggantungkan periuk nasinya pada perkebunan sawit. PT.Sawindo, perusahaan besar yang sudah puluhan tahun berdiri disana.
Sebagai icon wisata, tugu ini menerangkan bahwa disinilah berasal tradisi Perang Ketupat yang legendaris itu.
Tugu yang dibuat ditengah-tengah pertigaan, bersebelahan dengan Masjid yang cukup megah.
Makna yang tersirat, bahwa antara tradisi dan agama dapat berjalan seiring berdampingan.
Hanya saja menurut tutur tetua kampong Tempilang, yang bisa menjadi perekat ingatan adalah ketika terjadinya letusan Krakatau pada tahun 1883. Konon, sejak saat itu tradisi Perang Ketupat sudah ada.
(Mengingat dampak yang ditimbulkan letusan Krakatau, wajar kalau banyak orang bisa mengingatnya. Karena letusan Krakatau 1883 adalah letusan gunung api terbesar didunia. Pemerintah Hindia Belanda bahkan mencatat lebih dari 36 ribu orang menjadi korban dengan getaran gempanya hingga Australia).
– – – – – – – –
Biasanya dimulai pada tanggal 15 Sya’ban atau minggu ketiga dibulan tersebut.
Ritual ini dilakukan oleh tiga orang dukun Kampung, yakni dukun darat, dukun laut dan dukun tua. Pada tahap ini, ketiga dukun akan memanggil makhluk halus yang mendiami daratan Tempilang. Kemudian makhluk-makhluk ini diberi makan berupa sesaji yang sudah diletakkan pada rumah-rumahan dari kayu yang disebut Penimbong.Makhluk yang diberi makan ini dipercaya sebagai penjaga kampung Tempilang dari serangan roh-roh jahat.
Untuk itu mereka dihormati dengan cara memanggil dan memberinya makan pada ritual Penimbonganini.
Upacara ini dipimpin oleh dukun laut yang akan membaca mantra dan do’a-do’a.
Ngancak adalah memberi makan pada makhluk halus yang tinggal dilautan sekitar Tempilang.
Ritual ini dimulai tepat pada tengah malam.
Pantai Pasir Kuning mulai dibanjiri pengunjung sejak pagi.
Pada hari ini, Tempilang berbalik 180º. Warga berikut pengunjung dari luar akan berbondong-bondong memasuki Tempilang. Menyebabkan jalanan Tempilang macet total !
Tak cukup tempat yang disediakan panitia, pengunjung meluber hingga ke jalanan. Masih tak cukup dijalanan, pengunjung mencari tempat yang lebih tinggi.
Tanah berbukit didepan arena, menjadi saksi betapa banyaknya pengunjung yang ingin menyaksikan tradisi yang telah berusia ratusan tahun ini.
Suasana hening seketika.
Meski dibawakan dengan suara lirih dan dalam tempo yang lambat, namun dapat dirasakan getaran aneh mendengarnya. Ini pasti bukan sembarang nyanyian!.
Aura mistis mulai terasa, bulu kuduk berdiri, sekujur tubuh merinding. Nyanyian ini sungguh membawa nuansa lain. Nyanyian yang mengandung mantra, mengiringi tari Serimbang yang dibawakan para penari berpasangan.
Artinya,… Ritual akan segera dimulai!
Tak lama lagu berhenti, terdengar nada salam dari mulut dukun ditengah lapangan.
Hanya saja nadanya berat dan tak lazim. Rupanya raga sang dukun telah dimasuki ruh leluhur kampung.
Keadaan semakin tegang. Senyap, semua orang menahan nafas.
Dukun laut menjawab salam dan mengucapkan selamat datang pada leluhur yang hadir.
Kemudian Beliau meminta izin untuk memulai tradisi Perang Ketupat.
Sempat terjadi dialog. Dukun laut meminta leluhur untuk memimpin upacara, namun leluhur menolak dengan halus, berdalih hanya ingin menyaksikan saja tradisi yang sudah mereka perankan sejak ratusan tahun lalu.
Ketupat diletakkan ditengah arena, sementara para pendekar yang akan ikut “berperang” dibagi menjadi dua kubu.
Setelah membaca mantra dan do’a, sang Dukun berterik MULAI… !!!
Suasana menjadi ricuh, para pendekar rebutan mengambil ketupat dan saling baku lempar.
Sekuat tenaga mereka melempar ketupat untuk mengenai “musuhnya”.
Tak terima hal itu, sang musuh kembali balik melempar, begitu seterusnya.
Perang menjadi beringas, masing-masing kubu ingin memukul lawan dengan sekuat dan sebanyak-banyaknya hingga sang dukun berteriak STOP !
Perang berhenti, kemudian dengan sisa-sisa tenaga yang ada, para pendekar yang tadinya berperang dan bermusuhan, kini saling berangkulan.
Dengan senyum mengembang mereka saling berjabat tangan saling memaafkan.
Suasana yang tadinya tegang dan dipenuhi aura mistis, perlahan mencair menjadi senyuman banyak orang. Pengunjung tertawa dan bertepuk tangan.
Namun ada yang aneh disini, meski telah mengerahkan sekuat tenaga untuk saling lempar, namun tiada istilah kesakitan bagi mereka. Itu karena ketupat dan arena memang sudah “disterilkan” oleh Sang Dukun.
Untuk membuktikan itu, Sang Dukun meminta kepada pengunjung yang ingin mencoba sensasi bagaimana rasanya Perang Ketupat. Tak sedikit dari pengunjung yang turun dan ikut berperang.
Istilahnya memang Perang, namun setelah itu semua kembali normal.
Semua akan berangkulan, jabat tangan dan saling memaafkan dengan senyum mengembang dalam kebahagiaan.
Namun ternyata prosesi adat masih belum lah tuntas.
Disiang hingga sore harinya akan berkeliling orang-orang kepercayaan dukun Tempilang untuk menaberapa saja agar terhindar dari balak dan musibah.
Orang-orang ini akan berjalan berkeliling kampung dengan membawa ember berisi seperti air kapur yang sudah dimantrai. Rumah, kendaraan atau bahkan anak-anak yang ingin ditaber akan dipercikkan dengan kuas khusus yg dibuat dari tumbuhan.
Seiring itu, pintu rumah warga Tempilang akan terbuka untuk siapa saja, baik yang dikenal maupun tidak.
Orang-orang yang lewat akan dipanggil untuk singgah dan disuguhi kue-kue berikut makan makanan enak seperti Ketupat, Lepet beserta lauk pauknya.
Disini kita dapat melihat keluhuran masyarakat Tempilang dalam menjaga dan mempertahankan budaya leluhurnya.
Meski masih ada terkesan mistis, namun sekarang sudah banyak yang disesuaikan dengan norma dan agama.
Perang Ketupat bukan lagi murni bersifat “animisme” tapi sudah bergeser dan dikemas lebih kepada wisata budaya.
Nilai-nilai silaturahim sangat kental, ditambah dengan niat yang selalu ingin berbagi tercermin dari “open house” yang mereka lakukan bahkan untuk pengunjung dari jauh yang tidak dikenal.
0 Reviews:
Post Your Review
Silahkan Komentar dengan Bijak